Blog
Sebagai salah satu filmmaker, Edwin nggak cuma beken di Indonesia tapi juga memiliki segudang prestasi. Bahkan karya-karyanya berhasil diputar di sejumlah festival internasional. Karirnya pun semakin menanjak setelah ia menggarap film Posesif yang tayang 2017 lalu. Namanya juga kian melambung karena film tersebut menuai tanggapan positif dari penonton serta pengamat film. Informasi berikut akan membahas bagaimana cara Edwin dalam membuat film dengan sentuhan khasnya melalui bahasa film. Tanpa lama lagi, simak yuk!
Memberikan Sentuhan Spesial di Film Posesif
Tiga tahun silam, nama Edwin menjadi populer karena film panjangnya yaitu Posesif menuai respon positif dari penonton serta Festival Film Indonesia yang mengganjarnya Piala Citra untuk kategori Sutradara Terbaik. Buat kamu yang belum sempat menonton film ini, Posesif adalah film tentang drama remaja yang mengisahkan romansa dua insan bernama Yudhis (Adipati Dolken) dan Lala (Putri Marino). Mungkin, beberapa orang menganggap bahwa Posesif merupakan film romansa remaja biasa, nyatanya ini lebih dari itu.
Edwin berhasil memberikan sentuhannya yang khas sehingga menjadikan Posesif lebih kompleks daripada yang banyak orang bayangkan. Ia menggunakan kisah cinta remaja untuk mempermasalahkan hal yang lebih besar. Cinta dalam Posesif adalah ruang relasi beracun yang membuat kedua pihak kehilangan nalar. Edwin berani menuai dan melontarkan kritik terbuka terhadap budaya patriarki dalam kehidupan masyarakat kita.
Sudah Akrab dengan Film Sejak Belia
Sutradara kelahiran 1978 ini ternyata sudah begitu akrab dengan film bahkan sejak Belia. Film-film produksi Hollywood terutama silat pun ia lahap. Meski suka, impian menjadi sutradara belum terbesit di pikiran Edwin. Namun semua itu berubah semenjak ia mengenyam pendidikan tinggi di Universitas Petra, Surabaya. Minat untuk bergelut di dunia film pun berkembang besar. Kemudian, ia memutuskan untuk mengambil sekolah di Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Dalam perspektifnya, film memberi “banyak ide bagus” dan ketika ia menempuh pendidikan di IKJ, Edwin mendapatkan ekosistem yang mendukung keinginannya. Lingkungan sekitar dan teman-temannya begitu bersemangat ketika membicarakan film dan ia pun menanggapinya dengan serius.
Memulai Karir dengan Film Pendek
Ia memulai karir dengan menggarap film pendek pada tahun 2002 berjudul A Very Slow Breakfast. Dua tahun berselang, Dajang Soembi: Perempoean jang Dikawini Andjing dirilis, dan disusul Kara, Anak Sebatang Pohon (2005). Film yang disebut terakhir berhasil lolos ke Cannes serta diputar dalam sesi Director’s Forthnight.
Menurutnya film pendek adalah “bahasa dalam mencari bentuk sinematiknya sendiri”. Film pendek juga membuat ia merasa memperoleh kesempatan untuk terus berlatih mematangkan gaya. “Walaupun film pendek seringkali punya bahan yang mentah, yang basic, ia selalu jadi medium yang powerful untuk proses kreatif saya,” ujar Edwin.
Bahasa yang ia pakai dalam film pendek digunakan dalam menapaki karir berikutnya, yaitu film panjang. Film panjang garapannya bisa dibilang sebagai versi penyempurnaan dari film pendek. Ia berhasil mempertahankan bahasa di film pendek agar tetap punya benang merah dengan film panjangnya.
Film-film panjang Edwin terasa fleksibel dalam menyesuaikan kebutuhan kreatifnya. Bahkan, dalam satu waktu ia bisa menyutradarai film absurd dan sureal seperti Babi Buta yang Ingin Terbang (2008) dan Postcards from the Zoo (2012). Meski begitu, ia juga berani mengambil resiko dengan keluar dari zona nyamannya dan menggarap film populer seperti Posesif (2017) serta Aruna dan Lidahnya (2018) yang diadaptasi dari novel karya Laksmi Pamuntjak. Edwin pun terus mengeksplorasi ide dan ia mengerti keinginannya. Hal itu yang membuat film garapannya beragam.