Blog
Wabi Sabi, Konsep Jepang yang Menghargai Keindahan dalam Ketidaksempurnaan
- October 16, 2020
- Posted by: ids
- Category: Articles
Jepang menjadi salah satu negara yang paling banyak dikunjungi turis, mulai dari objek wisata yang ditawarkan, keberagaman budaya, hingga hal-hal unik lainnya. Budaya orang Jepang tentu berbeda dengan kita, salah satunya mereka menganut konsep Wabi Sabi di kehidupan sehari-hari. Apakah kamu pernah mendengar istilah tersebut? Jika belum, kamu harus menyimak penjelasan singkat berikut. Yuk, cari tahu!
Melihat Keindahan dari Ketidaksempurnaan
Konsep luas dari Wabi Sabi mengarah ke ketidakabadian dan ketidaksempurnaan dalam hidup. Dilansir dari laman mindful-company.com Richard Powell, pengarang buku Wabi Sabi Simple, mengatakan, konsep tersebut mengajarkan tiga realitas sederhana: bahwa dalam hidup ada hal-hal yang tidak dapat bertahan, tidak selesai, dan tidak ada yang sempurna.
Arti dan wabi dan sabi di Jepang sebenarnya telah mengalami perkembangan seiring berjalannya waktu. Kata wabi erat dikaitkan dengan jenis kesepian dan kesendirian yang mirip dengan apa yang dirasakan pertapa di wilayah terpencil. Sementara sabi, yaitu sesuatu yang ternoda atau berkarat tanda-tanda perkembangan alamiah.
Konsep ini memang tak jarang dikaitkan dengan penerapannya pada arsitektur dan desain interior. Pada konteks ini, wabi sabi mengedepankan desain yang minimalis, tidak neko-neko dengan menggabungkan unsur-unsur alami penggunaan warna-warna earthy, netral, serta material alami bertekstur.
Rasa Damai dan Menghargai
Kesepian dan kesendiri sudah tidak dipandang sebagai hal yang buruk ketika memasuki abad ke-14, melainkan sesuatu yang bisa membuat kita bebas dan lebih bijak. Ketidaksempurnaan yang ada dalam hidup merupakan hasil dari perkembangan alami kehidupan dan harus dirangkul sebagai pengingat ketidakabadian. Wabi sabi membuat kita bisa menerima fakta bahwa hidup beserta hal-hal yang ada di dunia tidaklah kekal. Konsep tersebut memungkinkan juga untuk lebih menghargai serta menikmati keindahannya.
Misalnya saja ada meja kayu yang sudah tua, kusam, dan jelek. Menerapkan konsep wabi sabi akan membuat kita memandang dan melihat keindahan dalam ketidaksempurnaan meja tersebut akibat pengaruh usia. Konsep ini sebenarnya fokus pada rasa ‘menghargai’ dan ‘menerima’ sesuatu yang tidak sempurna–baik karena sudah tua, tidak lengkap, atau memang biasa saja. Wabi sabi menganggap ketidaksempurnaan merupakan bagian dari hidup dan tidak seharusnya disangkal.
Kecantikan Muncul dari Sesuatu yang Dinilai Jelek
Definisi lain dari wabi sabi yaitu kecintaan pada ketidakbiasaan. Hal tersebut lahir berkat gaya lukis biksu Zen yang memiliki gaya bebas dan spontan. Kesukaan pada hal-hal yang tidak biasa atau abnormal tampak pada aktivitas lain, seperti menghias kuil dengan benda alam yang simpel, seperti bambu, bunga liar, atau kayu. Selain itu, upacara minum teh (sadou), merangkai bunga (ikebana), dan membuat keramik raku juga merupakan contoh seni yang menganut konsep wabi sabi.
Konsep ini pun turut memiliki nilai spiritual. Wabi sabi menitikberatkan pada sesuatu yang tidak terlihat akan semakin menggugah dan indah. Kecantikan bisa muncul dari sesuatu yang dinilai jelek. Keindahan ditentukan oleh sudut pandang, konteks, atau keadaan tertentu.
Membuka Ruang Bagi Rasa Cinta ke Orang Lain
Tidak hanya barang, tapi wabi sabi juga mampu membuka ruang bagi rasa cinta terhadap orang lain. Konsep ini memungkinkan seseorang untuk tak lagi berfokus dan menyesali kekurangan atau pengalaman pahit yang pernah dirasakan. Mencintai kekurangan dapat memberikan kepuasan lebih dalam hidup.
Ini juga bisa menjadi cara baru dalam melihat dunia dan tempat seseorang di dalamnya. Pikiran dan penilaian negatif juga bisa dilepas dengan mudah. Ajaran yang sudah berusia berabad-abad tersebut dianggap mampu menjadi jalan keluar bagi manusia dan persoalannya yang ada di masa kini.