Peringati Hari Film Nasional, Inilah Daya Tarik Kemasan Baru dari Film Hasil Remake
30 Maret adalah tanggal yang dipilih sebagai hari film nasional. Hari film nasional menjadi pengingat bahwa Indonesia telah menciptakan berbagai film yang luar biasa. Hal ini ditandai dengan kreasi film maker yang melakukan remake film. Hal ini menandakan film dari era yang telah lalu memiliki daya tarik yang tidak bisa dilupakan sehingga masih meninggalkan kesan oleh film maker maupun masyarakat Indonesia. Film remake pun mampu menghadirkan antusias yang tinggi, karena keinginan penonton untuk merasakan kembali perasaan saat menonton film-film jaman dahulu.
Para filmmaker pun dapat menjadikan hari ini sebagai titik awal semangat baru untuk terus berkarya dan membangun industri perfilman negeri. Salah satunya adalah dengan cara me-remake.
Dalam pembuatan film dikenal istilah yang disebut dengan “remake.” Remake adalah membuat kembali sebuah film dengan alur cerita yang sama persis. Film yang di remake adalah film dari era-era sebelumnya yang pada masa itu film tersebut sangat sukses dan populer. Biasanya film maker memilih me-remake film untuk mencoba meraih kesuksesan yang sama ataupun menampilkan film lawas menjadi lebih modern.
Untuk membuat sebuah film, ada banyak cara yang dilakukan filmmaker untuk berkreasi seluas mungkin demi menciptakan film yang apik. Inspirasi yang datang pun bisa dari mana saja. Mulai dari fenomena-fenomena unik yang terjadi saat ini, buku, kisah hidup seseorang, ataupun pengalaman pribadi. Namun tidak ada salahnya juga membuat film dari film ataupun serial yang telah ada sebelumnya. Tidak hanya dipandang sebagai hiburan semata film remake pun dipandang sebagai tali pengikat yang menghubungkan banyak orang dari berbagai usia.
Indonesia tak sedikit memiliki film yang bersumber dari film masa lalu kemudian hadir dalam berbagai genre. Mulai dari komedi “Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss” yang menceritakan tingkah lucu 3 sahabat Dono, Kasino, Indro, atau kisah pahlawan Indonesia dalam film“Wiro Sableng,” dan film horor seperti “Pengabdi Setan” dengan suasana yang lebih mencekam.
Remake film ini tidak hanya bersumber dari film lawas Indonesia saja, beberapa film maker juga me-remake film luar negeri dan membingkainya ke dalam perfilman Indonesia. Sebut saja film “Keluarga Slamet” yang diadaptasi dari film India “Badhaai Ho” atau Film “Bebas” adaptasi dari film “Sunny” yang berasal dari Korea Selatan. Indonesia juga pernah mengadaptasi film Thailand “I Fine.. Thank You, Love You” ke dalam judul baru yaitu “Love You… Love You Not….”
Membawa kembali tontonan dari masa lalu menjadi salah cara filmmaker untuk mengajak penonton bernostalgia. Selain film lama yang dikemas dengan tampilan baru, Indonesia juga mencatat berbagai film yang diadaptasi dari Sinetron jadul. Layaknya film “Bajaj Bajuri,” “Keluarga Cemara,” “Doel The Movie” ataupun “Losmen Bu Broto” yang menghadirkan perasaan hangat dengan topik kekeluargaan yang kental. Kadang juga filmmaker ingin membagi pengalaman masa lalunya sehingga mereka berani mengambil resiko untuk mendaur ulang kisah yang begitu jaya di masanya.
Sudah menjadi tantangan sendiri bagi filmmaker yang menantang diri untuk mengulang sebuah masa ke dalam sebuah film. Dikarenakan penonton kemungkinan telah mengetahui cerita dari film tersebut. Sehingga dibutuhkan kepiawaian dari sang sutradara untuk menjadikan cerita tersebut tetap menarik. Pada pembuatan film yang bersumber dari film atau serial jaman dahulu memang sering membawa kesalahpahaman bagi penonton.
Tak hanya dengan cara me-remake film hasil adaptasi juga hadir dalam berbagai bentuk dan cara. Dunia kreatif memang tidak memiliki batasan untuk menghasilkan sebuah karya. Selain remake film yang menginterpretasikan kembali film dari masa sebelumnya dengan kisah yang sama, adapula reimagining. Reimagining adalah pembuatan ulang film lama yang tidak begitu mengikuti karya aslinya. Film maker hanya mengikuti premis yang ada dengan alur yang berbeda. cara lain yang bisa dilakukan filmmaker adalah membuang plot serta latar belakang dari sebuah film dan hanya mengambil tokoh untuk membuat cerita baru dari aslinya. Cara ini disebut dengan reboot film. Dalam reboot film bahkan tak jarang menambah karakter baru. Hal inilah yang kadang membuat penonton bertanya-tanya mengapa film adaptasi yang ia tonton terasa begitu berbeda dengan aslinya.
Namun tentunya hal ini kembali lagi dengan tujuan awal sutradara mengenai film apa yang ingin ia buat. Sudah menjadi tugas sutradara pula untuk menjelaskan seperti apa sudut pandang yang ia pakai dan berharap penonton dapat memahami pesan yang disampirkan sang sutradara ke dalam film adaptasi yang ia buat. Program Head jurusan Digital Film and Media Production International Design School, Ari Dina Krestiawan juga menambahkan bahwa sudah menjadi hak penonton bila mereka merasa tidak puas, mungkin saja film tersebut memang tidak dibuat untuk orang tersebut.
Perbedaan film remake bukan hanya dari jalan ceritanya saja, namun juga nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Penulis ataupun sutradara tentu melakukan penyesuaian dengan kondisi dan problematika saat ini sehingga film terasa lebih relevan. Seperti pada film “Galih dan Ratna” versi masa kini yang lebih menonjolkan perjuangan Galih dan Ratna dalam menggapai cita-cita. Agar karakter dalam film lebih terasa dekat dengan masa kini beberapa tokoh yang menjadi sahabat Ratna pun memiliki hobi yang berhubungan dengan internet seperti menjadi beauty vlogger atau sering membuat petisi online.
Tidak hanya sebagai hiburan, kita pun dapat belajar banyak mengenai kehidupan di masa lalu dari film remake. Pada akhirnya film hasil remake merupakan jembatan antar generasi. Dengan penggarapannya yang disesuaikan zaman ditambah bintang-bintang masa kini yang membuat film remake lebih berwarna. Film remake sangat sesuai untuk dijadikan wisata masa lalu dan berbagi kisah tanpa memandang usia.