Blog
Pentingnya Character Development dalam Film Action
- June 24, 2019
- Posted by: IDS | International Design School
- Category: Articles
Dentuman senjata api, aksi perkelahian satu lawan satu, pengejaran dengan mobil dan dialog yang dramatis adalah beberapa atraksi yang identik dengan film action. Sekuen-sekuen tersebut adalah resep dasar bagi filmmaker untuk menarik perhatian penonton yang telah memiliki ekspektasi saat mereka mendengar embel-embel “film action”.
Akan tetapi, dibalik adrenalin yang terus menerus dipacu, idealnya terdapat sebuah alur cerita yang berisi motif dan akan dikupas sepanjang durasi film. Suasana penceriteraan dan pengembangan karakter dapat digunakan sebagai modal oleh filmmaker untuk menjelaskan apa yang menjadi permasalahan yang harus diselesaikan.
Tensi tinggi dan kontak fisik tentu dapat menjaga momentum suspensi yang akan membuat penonton terpaku di kursi mereka. Hanya saja, tanpa adanya latar cerita yang meyakinkan, akan sulit bagi mereka untuk merasakan empati kepada karakter utama atau pihak yang benar (red Walter White). Jalannya film hanya menjadi rentetan ledakan dan baku hantam yang tak berarti.
Detil dari karakter secara fisiologis merupakan faktor yang integral dalam proses penulisan naskah dan casting. Tinggi badan, postur tubuh, gestur, usia, organ tubuh dan bahkan suara akan menjadi alat bagi para filmmaker untuk mengkonversikan imajinasi mereka mengenai sebuah karakter yang dibentuk menjadi manifestasi fisik. Aspek fisiologis dari memiliki peran besar dalam proses penanaman impresi dari sebuah cerita secara utuh ke benak penonton.
Tak ketinggalan, atribut psikologis dalam sebuah karakter adalah elemen krusial dari sebuah film. Kompas moral adalah salah satu hal yang bisa menjadi landasan dalam pengembangan karakter yang berimplikasi secara luas. Selain itu, komponen fundamental psikologis seperti ambisi, temperamen, kemampuan kognitif, EQ dan IQ dari seorang karakter harus jelas terceritakan agar penonton dapat merasionalisasi tindak-tanduk yang dipertontonkan.
Contoh relevan dalam pengembangan karakter melalui aspek psikologis dan fisiologis dalam film action adalah John Wick. Pembawaan diri yang dingin, gestur tubuh kaku dan pemilihan pakaian yang formal dengan warna gelap memberikan kesan dan ide yang distingtif akan sang protagonis utama. John Wick selalu mengambil langkah yang terkalkulasi tanpa menunjukkan emosi berlebihan meskipun motif utama dari misi yang dijalani dari setiap film adalah dendam. Kedua hal tersebut — meskipun seandainya hanya disisipkan oleh porsi perkelahian fatal yang sedikit — adalah resep sederhana untuk menggiring penonton untuk menciptakan sebuah hipotesis; John Wick, sang algojo berdarah dingin.
Meskipun begitu, karakter yang terlalu disorot dapat menghilangkan identitas film action yang telah memiliki kodratnya sendiri. Durasi film yang secara signifikan dihabiskan untuk membedah satu karakter secara matematis mengurangi jumlah aksi yang dipertontonkan. Patut diingat, penonton hanya membutuhkan sebuah proses perubahan karakter yang terkait secara langsung dengan sang karakter. Dalam banyak kasus, penonton hanya perlu mengetahui keberlangsungan dan perubahan yang diakibatkan sebuah peristiwa atau dinamika sosial secara masal tanpa terlalu memusingkan dampak hal tersebut secara pribadi ke karakter.
Penonton memiliki kapasitas otak terbatas dalam menyerap informasi yang disajikan dalam sebuah film. Contohnya – meminjam referensi dari film crime-drama dengan adegan action ikonik — jika plot pada Godfather I dan II dikompres menjadi sebuah kisah yang diceritakan dalam satu film, maka penonton akan kebingungan akan banyak jumlah perkara. Jika Michael Corleone harus: a) mengenyampingkan keraguannya untuk terjun di dunia kriminal, b) memperbaiki hubungan dengan istrinya, c) menyelamatkan diri dari serangan keluarga mafia lain dan d) mengonfrontasi kakak kandungnya yang berkhianat hanya dalam satu film, maka penonton akan kesulitan untuk membedakan setiap subplot yang ada. Bukan tidak mungkin penonton akan kehilangan fokus dan sama sekali tidak mencerna cerita yang disuguhkan.
Pada dasarnya, kita dapat mengutip dari pepatah modern; “Jika sebuah masakan kurang diberi garam, maka ia akan hambar. Tetapi jika garamnya terlalu banyak maka hanya rasa asin yang dapat dirasakan.” Aplikasikan hal tersebut pada proses penggarapan cerita maka hasil akhirnya akan menjadi berimbang proporsi naratifnya.
Source:
1 2 3 4 5
Photo Source:
1 2 3 4 5