Teknik Three Act Story Structure
Tentu saja, bagi mereka yang tertarik dalam seni bercerita atau storytelling, “Three Act Story Structure” adalah sebuah prinsip penting yang patut diperhatikan. Ini adalah teknik klasik yang digunakan secara luas dalam berbagai bentuk media, termasuk drama, puisi, novel, komik, cerita pendek, permainan video, dan film. Bahkan, kita dapat menemukan jejaknya dalam karya-karya terkenal seperti novel-novel karya Conan Doyle, drama klasik Shakespeare, dongeng Aesop, puisi filosofis Aristoteles, dan film-film klasik ala Hitchcock.
Meskipun prinsip “Three Act Story Structure” ini relatif sederhana, telah terbukti sebagai alat berharga dalam seni penulisan skenario. Meskipun ada berbagai teknik lain yang tersedia, “Three Act Story Structure” tetap menjadi metode yang sangat diterima dan terbukti sukses.
Struktur ini terdiri dari tiga bagian inti: babak pertama yang memperkenalkan karakter dan menggambarkan situasi awal, babak kedua yang menghadirkan konflik dan tantangan utama, dan babak ketiga yang mengungkapkan penyelesaian cerita dan bagaimana karakter-karakter berkembang.
Dengan mengikuti “Three Act Story Structure,” penulis memiliki kerangka kerja yang kokoh untuk membangun cerita yang menarik, mempertahankan ketegangan, dan memberikan hasil yang memuaskan bagi para pembaca atau penontonnya. Teknik ini merupakan dasar bagi banyak karya besar dalam dunia sastra dan hiburan, sehingga sangat relevan dan bermanfaat untuk dijelajahi lebih lanjut.
Act I: Setup
Dalam “Three Act Story Structure,” tahap pertama adalah Act I. Ini adalah babak di mana semua karakter utama diperkenalkan, lingkungan atau tempat di mana cerita berlangsung diperjelas, dan konflik awal yang akan mendorong alur cerita dihadirkan. Pada tahap ini, penulis memiliki kebebasan untuk menciptakan pengaturan dan realitas apa pun yang mereka inginkan. Ini adalah kesempatan bagi penulis untuk mengendalikan dunia cerita mereka dan membawa penonton atau pembaca ke dalamnya.
Dalam Act I, penulis dapat memutarbalikkan kenyataan atau menciptakan setting yang fantastis. Sebagai contoh, dalam film “Toy Story” (1995), penulis membuka cerita dengan seorang anak laki-laki bernama Andy bermain dengan mainan-mainannya. Namun, saat Andy meninggalkan kamar tidurnya tanpa pengawasan, mainan-mainan itu tiba-tiba hidup. Pada tahap awal film, penonton diajak untuk memiliki pikiran yang terbuka terhadap semua kemungkinan. Mereka menerima dengan mudah bahwa dalam dunia cerita ini, mainan bisa hidup dan berbicara.
Selain itu, dalam Act I, penulis harus menyajikan adegan yang kuat dan menarik yang mampu mengaitkan perhatian pemirsa. Sebagai contoh, dalam film “Raiders of the Lost Ark” (1981) karya Steven Spielberg, cerita dimulai dengan urutan aksi yang spektakuler. Indiana Jones, yang diperankan oleh Harrison Ford, diperkenalkan saat melakukan aksi akrobatik dalam upayanya menembus gua dan kuil yang legendaris untuk menemukan artefak yang berharga. Dengan menghadirkan adegan penuh aksi ini di awal, penonton langsung terlibat dalam cerita dan merasa tertarik untuk melanjutkan menyaksikan perjalanan Indiana Jones. Tahap Act I adalah fondasi penting yang membantu membangun landasan kuat bagi cerita selanjutnya dalam “Three Act Story Structure.”
Act II: Konfrontasi
Tahap Act II dalam “Three Act Story Structure” adalah tahap terpanjang dalam cerita dan terletak di antara Act I dan Act III. Bagi banyak penulis skenario, Act II sering dianggap sebagai tahap yang paling menantang karena harus menjaga kelangsungan cerita tanpa membuat penonton merasa bosan. Pada titik ini, penulis telah membangun kerangka cerita yang kokoh dan memperkenalkan konflik utama. Tantangan utama adalah menjaga momentum cerita dan menghindari rasa monoton.
Salah satu cara untuk menjaga ketertarikan penonton adalah melalui penggunaan subplot. Subplot adalah cerita kecil yang berjalan bersamaan dengan alur utama, meskipun tidak selalu terhubung secara langsung. Subplot sering kali berhubungan dengan tema sentral cerita dan dapat memberikan dimensi tambahan pada karakter atau alur cerita. Ini membuat cerita menjadi lebih dinamis dan menarik.
Seiring dengan perkembangan cerita, tahap Act II mencapai puncaknya dengan apa yang disebut Plot Point II. Plot Point II adalah momen penting yang mengubah arah cerita dan memengaruhi karakter utama. Mirip dengan Plot Point I yang memicu konflik awal, Plot Point II meluncurkan cerita ke babak ketiga dan mengarahkan karakter utama ke keputusan atau perubahan penting dalam alur cerita. Plot Point II adalah elemen kunci dalam membentuk struktur dan dinamika narasi yang kuat dalam “Three Act Story Structure.”
Act III: Resolution
Act III, yang disebut sebagai “Resolution,” adalah tahap terakhir dalam “Three Act Story Structure.” Pada tahap ini, cerita mencapai konfrontasi akhir dan memberikan kesimpulan. Act III adalah tahap di mana semua konflik, drama, dan ketegangan mencapai puncaknya, dan karakter utama harus menghadapi penyelesaian dari konflik utama cerita.
Contoh dari film “The Silence of the Lambs” adalah saat Agen Starling memasuki rumah Buffalo Bill, penjahat yang dia kejar. Ini adalah konfrontasi langsung antara pahlawan (Agen Starling) dan penjahat (Buffalo Bill), dan momen ini adalah salah satu puncak cerita di mana akhir dari konflik tersebut akan ditentukan.
Act III seringkali memunculkan momen klimaks dalam cerita, yang dapat berupa konfrontasi besar, perselisihan antara yang baik dan yang jahat, atau mungkin sebuah akhir cerita yang tak terduga yang membuat penonton terkejut. Selain itu, tahap ini juga bisa digunakan untuk memberikan informasi tambahan tentang karakter yang lebih kompleks atau untuk memberikan pandangan lebih dalam tentang cerita.
Walaupun “Three Act Story Structure” adalah prinsip lama dalam penulisan cerita, ia tetap menjadi metode yang efektif dalam membangun narasi yang kuat dan menarik bagi penonton. Teknik ini telah terbukti berhasil dalam banyak genre cerita, termasuk film, drama, novel, dan berbagai bentuk karya fiksi lainnya.
Tertarik untuk berkarier di industri film? Yuk belajar film di IDS | International Design School!
Mengapa harus kuliah film di IDS? Karena IDS memiliki Program Digital Film & Media Production mengajarkan keterampilan teknis dan estetika kepada mahasiswa untuk menciptakan film dan konten media beragam. Program ini dimulai dari pengembangan cerita, penulisan skenario, dan pembuatan storyboard hingga perwujudannya menjadi film. Mahasiswa juga akan belajar seluruh proses produksi yang mencakup penyutradaraan, manajemen produksi, sinematografi, tata artistik, tata suara, akting, dan penyuntingan. Selain itu, mereka akan mendapatkan panduan dalam memahami aspek manajemen dan bisnis konten dari sudut pandang pemasaran dan distribusi.