Blog
Jumlah Layar Bioskop Masih Menjadi Masalah Dunia Perfilmman Indonesia
- March 30, 2018
- Posted by: IDS | International Design School
- Category: Articles
Hari Film Nasional (HFN) diperingati setiap tanggal 30 Maret 2018, semua postingan yang berhubungan dengan hari tersebut muncul di berbagai media sosial, mulai dari ucapan selamat, mengulas kata-kata menarik dari film-film yang telah ditayangkan hingga membagikan tautan pemberitaan sejarah perfilman negeri ini. Tercatat di tahun 2018 saja, Film Dilan 1990 sukses menduduki peringkat pertama dengan perolehan penonton sebanyak 6.314.986 dan membawanya menjadi film terlaris sepanjang 2007-2018.
Namun, terdapat beberapa hal menarik dari perjalanan film Indonesia sepanjang 2017 kemarin. Pada beberapa indikator, seperti jumlah layar dan penonton menunjukkan adanya pertumbuhan. Berdasarkan data yang diambil dari https://filmindonesia.or.id hingga Desember 2017, Indonesia telah memiliki 263 Bioskop dengan 1412 layar. Jumlah ini meningkat tajam dibandingkan pencatatan terakhir pada Agustus 2012 yang hanya memiliki 145 bioskop dengan 609 layar. Bila dihitung, jumlah layar bioskop di Indonesia dalam lima tahun terakhir meningkat hingga sekitar 132 persen.
Namun, persebaran jumlah layar tersebut belum merata dan sebagian besar hanya berada di kota-kota besar saja. Dari 263 bioskop dengan 1412 layar, 183 bioskop dengan 988 layar berada di Pulau Jawa. Atau dengan kata lain, sekitar 70 persen bioskop dan layar saat ini berada di Pulau Jawa. Riset portal https://filmindonesia.or.id menunjukan, hanya 13 persen kabupaten dan kota yang punya akses ke bioskop. Ketimpangan persebaran bioskop juga terjadi dengan 87 persen layar terpusat di Pulau Jawa, dan 35 persen layar berada di DKI Jakarta.
Pandu Birantoro, selaku produser eksekutif dari Ideosource Entertainment yang akan merilis dua film tahun 2018 ini yaitu “Keluarga Cemara” dan “Kulari Ke Pantai” juga memaparkan bahwa ketimpangan jumlah layar bioskop yang tidak merata menjadi salah satu permasalahan dalam dunia perfilmman Indonesia.
“Kita ambil contoh di Provinsi Aceh, Kalimantan Utara, Maluku Utara, dan Papua Barat yang tidak punya akses untuk nonton bioskop. Artinya, yang bisa menikmati film cuma di kota-kota besar. Akhirnya, dari penontonnya nggak ada, filmnya juga nggak bisa masuk ke wilayah tersebut,” paparnya.
Permasalahaan lain juga datang dari segi konten, masih rendahnya kualitas film lokal menyebabkan ketergantungan yang tinggi akan kehadiran film-film impor.
“Ditambah lagi kecenderungan orang Indonesia yang saat menonton film Hollywood, kita jarang mencari salahnya di mana, sedangkan film Indonesia? langsung dicari kesalahannya. Kita perlu melakukan apresiasi dan mendorong penguatan film produksi dalam negeri dibandingkan produk film Impor,” jelas Sutradara Omnibus Sinema Purnama tersebut.
Selain itu, Pandu juga menambahkan bahwa kita sebagai para filmmaker juga harus memperhatikan market. Banyak film-film lokal yang kontennya sangat bagus, tapi tidak dikenal luas oleh masyarakat dan akhirnya keberadaanya di layar bioskop hanya sebentar.
“Contoh harga produksi buat sebuah film bisa sekitar 6 milyar, itu baru harga produksi saja. Kalau secara formula yang baik, dengan bikin film biaya segitu, otomatis butuh marketingnya juga 6 milyar sendiri. Bagaimana mau dapat penonton yang jumlahnya jutaan kalau kita sendiri nggak bisa menarik perhatian penonton,” tuturnya.
Pernyataan Pandu, juga didukung dengan survei yang diambil dari https://filmindonesia.or.id yang menunjukkan bahwa variabel strategi marketing sangat berperan, terutama ketepatan dalam penggunaan medium multi-platform. Artinya, terdapat upaya-upaya untuk mengambil resiko, keluar dari zona aman dengan pendekatan-pendekatan baru.
Intinya, kehadiran berbagai film Indonesia di tahun 2018 pastinya akan semakin beragam dan masyarakat jangan hanya menjadi penikmat, tetapi juga pengamat dan mengapresiasi sebuah film agar dunia perfilmman Indonesia bisa semakin lebih baik lagi ke depannya.
Selamat Hari Film Nasional 2018! Merayakan Keberagaman Indonesia.
Source:
1