Blog
Litografi, Ditemukan di Jerman, Dibawa Masuk Belanda
- April 2, 2020
- Posted by: IDS | International Design School
- Category: Articles
Dari sekian banyak karya seni di Indonesia, popularitas litografi bisa jadi ada di posisi paling buncit. Padahal litografi adalah salah satu jenis karya seni kuno yang sudah sejak dulu kala digunakan untuk memproduksi massal benda-benda berbasis percetakan, seperti buku atau lukisan.
Namun jika dibandingkan lukisan, popularitas litografi bagaikan bumi dan langit. Faktor terbesar tenggelamnya teknik karya seni ini karena tingkat kerumitan di proses pembuatannya. Lukisan lebih mudah dibuat dengan memakai pewarna seperti cat air/minyak dan kanvas. Sementara untuk menghasilkan karya litografi butuh perlengkapan, bahan khusus serta skill yang khusus pula.
Litografi sendiri beraal dari bahasa Yunani kuno lithos = batu dan graphein = menulis atau bisa diartikan “menulis dengan batu”. Sementara pengertian secara proses, litografi adalah proses pencetakan (print) dari suatu permukaan datar dengan perlakuan khusus agar tinta bisa hilang kecuali di bagian yang memang diinginkan.
Teknik litografi ini ditemukan oleh ilmuwan Jerman Alois Senefelder di tahun 1796. Awalnya Senefelder berekperimen mencetak naskah sandiwaranya sendiri. Ia kemudian mencoba dengan proses etsa gambar di atas pelat tembaga. Namun karena harga tembaga relatif mahal, ia pun beralih menggunakan batu kapur (limestone).
Senefelder menggunakan proses etsa di atas batu kapur. Ia menuangkan larutan asam sendawa di atas batu kapur untuk mengikis bagian yang bukan merupakan gambar. Ia pun berhasil, cetakan gambar di atas batu kapur tadi sedikit mencuat dibandingkan bagian lain yang bukan bagian dari cetakan gambar. Dengan cara primitif seperti ini, Senefelder bisa mencetak 120 lembaran musik menggunakan batu yang telah di-etsa tadi.
Bukan limestone dipilih karena punya kandungan lemak tinggi. Sebelum masuk ke proses etsa, permukaan batu limestone yang akan digambar kemudian diasah terlebih dahulu dengan campuran bubuk besi (carborundum) agar menghasilkan permukaan yang halus dan siap untuk digambar.
Setelah dibersihkan, batu kembali diolesi gom Arab untuk proses pengasaman, sehingga gambar bisa tersimpan di atas permukaan batu dan bisa menjadi cetakan. Batu yang sudah mengalami proses tadi kemudian dipindahkan ke mesin cetak lalu tinta yang sudah dikentalkan diratakan ke seluruh permukaan batu menggunakan roll.
Sejarah Litografi di Indonesia
Penggunaan litografi di Indonesia terjadi di masa Hindia Belanda di paruh kedua abad ke-17. Awalnya VOC membutuhkan pelukis untuk kebutuhan eksplorasi dan dokumentasi. Kemudian mereka membagikan teknik menggambar dan melukis termasuk dengan teknik litografi di sekolah Angkatan Laut yang mereka dirikan di Batavia. Setelah mendapat bekal keterampilan, para siswa tadi diwajibkan berlayar menjelajahi nusantara untuk membawa pulang gambar pantai dan benteng yang mereka lihat di sepanjang perjalanan.
Sebelum digunakan untuk melukis, teknik litografi ini banyak dipakai untuk membuat peta, termasuk di masa Hindia Belanda. Sekarang, peta litografi kuno ini menjadi barang langka yang menjadi buruan kolektor. Baru setelah peta, penggunaan teknik litografi ini beralih ke gambar dan lukisan. Alasannya gambar atau lukisan yang dibuat menggunakan teknik litografi ini dianggap punya estetika tinggi ketika dipajang di dalam ruangan.
Di tanah air sendiri, jarang ditemukan seniman grafis yang menggunakan teknik litografi. Umumnya, para seniman atau pengrajin di Indonesia lebih menekuni ukiran kayu, serigrafi dan etsa. Salah satu dari sedikit seniman Indonesia yang pernah menggarap karya litografi adalah Tisna Sanjaya. Sementara sisanya, karya yang dipajang di Galeri Nasional Indonensia beberapa karya litografi didominasi oleh seniman Eropa seperti Jean Lurçat, Hans Hartung, dan Victor Vasarely dari masa 1900-an.